Kamis, 18 September 2014

GEMBALA-kadek asek (cerita inspiratif)

Pernah denger puisi anak gembala....?
kita yang sd era 70 -- 80 tentu tidak asing dengan puisi tersebut.

Saya jadi teringat masa itu begitu indah
Pulang sekolah berjalan dengan teman teman menyusuri sawah,
ada kalanya teman yang ortunya bekerja disawah berhenti disawahnya untuk menghalau burung nakal
yang hinggap hendak mencuri padi.
Saya dan temen yang lain berteriak teriak membantu menghalau burung,
masih dengan seragam sekolah, tidak peduli panas terik, lapar dan haus,
Terus berteriak,..berlari kerjar kejaran di sepanjang pematang sambil bermain.
setelah dirasa tidak ada lagi burung nakal
Kemudian kami lanjutkan perjalanan pulang sambil bernyanyi nyanyi,
walaupun saya tahu sampai dirumah pasti kena marah karena terlambat pulang dan membuat panik.

Pada musim menanam tiba..semua sawah yang kami lalui tergenang air, pematang jadi lembek tak jarang amblas ketika kami lewati. sepatu robek, kaos kaki bolong, basah dan berbau lumpur adalah pemandangan yang indah dalam kenangan.
Ketika jam pulang tiba, kami berlarian adu cepat di pematang,sampai dirumah gubuk tempat tinggal keluarga kami, bergegas ganti baju, celananya tetap, (apalagi kalo besok seragamnya beda langsung kita bikin kotor). tidak pake makan langsung kabur lagi ke tempat ngumpul dipinggir sawah dibawah pohon bambu.
Banyak aktivitas yang kami lakukan, nangkep belut, mancing katak, dan teman yang punya kerbau atau sapi juga mengembalakannya disekitar tempat itu.
Saya selalu kagum dengan teman yang mengembalakan kerbau, karena diatasnya dia duduk dengan santai, pandangannya jauh melampoi batas garis sawah dan sesekali nyuling (tembang ratu anom).   wiihhhh.....

Saya pernah bertanya,..kenapa kerbau ini digembalakan....kenapa tidak dibiarkan lepas dan mencari makan sendiri (sambil menunjuk ke arah gerombolan sapi) seperti itu....?
Dia jawab, bapakku bilang "kita gembalakan dia supaya tidak semaunya, bisa berjalan pada jalurnya, dan makan apa yang boleh dimakan, kalo dibiarkan dia akan berjalan kemanapun asal kakinya bisa melangkah, makan apapun yang diinginkannya termasuk makan daun pisang tetangga dan akhirnya kita akan kehilangan kerbau"

Percakapan sekian puluh tahun yang lalu kembali teringat oleh saya ketika saya harus melewati jalan yang sama yang sudah berubah fungsi dari pematang menjadi gang, sawah menjadi rumah, sungai disampingnya ditimbun untuk pelebaran jalan. kiri kanan tembok kokoh berdiri. jika dulu kita teriak ada gemanya dikejauhan...sangat merdu dan indah tapi sekarang jika teriak ada gaungnya...jadi gaduh dan sembrawut suasana hati

Saya renungkan kejadian hari itu....perubahannya....masyarakatnya....teman teman saya yang hilang entah kemana dan menjadi apa....rindu dan sedih...kerbaunya mungkin sudah jadi truk atau angkot karena tidak ada lagi sawah yang akan dibajak. Tidak ada lagi suara ternak, terganti oleh suara mesin. Suara angin semilir yang menerpa daun bambu dulu memberikan suasana damai walau terkadang ngeri karena sepi, sekarang terganti oleh dengungan blower AC.
Kebetulan saat saya lagi melamunkan kondisi itu ada pemangku yang datang ke pura yang sama, setelah kami selesai sembahyang, kami bercerita banyak hal, dan disini hal bijak saya peroleh dari beliau.

Kita adalah seorang pengembala,...tidak semata mata mengembalai ternak yang kita punya tapi sebagai pengembala pikiran kita. itu yang membentuk jalan hidup kita. Banyak orang menjadi ternak dari pikirannya, sehingga disisa hidupnya seringkali menyesali jalan yang sudah diambil. Kebingungan  timbul karena kita tidak lagi bisa mengendalikan pikiran kita, seperti seorang gembala yang menghadapi kerbaunya yang berontak.
"Jadilah gembala dari pikiran, maka semuanya akan terkendali, dan pada akhirnya kita bisa bersyukur atas apa yang terjadi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar