Kamis, 07 Agustus 2014

IKHLAS harus diperjuangkan (kisahku)



3 agustus 2014

Harus memulai cerita ini dari mana, akupun tak tahu…  ku terima telepon di hari minggu yang tenang pukul 8.47 wita, saat harusnya ku habiskan waktu dengan GP beo dan bundanya……

Suara di telepon itu mengganggu konsentrasi , emosi dan fokus pikiran. Tidak perlu menunggu lama kulepas GP dengan bundanya, memacu motor menuju benoa.  Ladang yang menghidupi kami sekeluarga, Ladang sejuta kenangan bagi kami, tak berdaya melawan panasnya kobaran api dan kencangnya tiupan angin, satu persatu penyangga atap berjatuhan, seperti mengerang kemudian meregang. Dan lebih tak berdayanya kami dengan berontaknya hati melihat barang barang yang membantu menghidupi kami tak mampu diselamatkan… letupan demi letupan seperti begembira merayakan selepas lebaran, seolah kami menyajikan pertunjukan spektakuler sehingga menghipnotis orang orang untuk menonton dan hanya beberapa yang berinisiatif ikut berlaga dalam arena, berusaha mengusir utusan dewa brahma.

Mobil pemadam milik Pelindo III Benoa, harapan pertama datang seperti serdadu tanpa peluru. Aku tak habis pikir “bagaimana bisa mobil pemadam tidak siaga dengan persediaan air di tangkinya?” atau kwalitas petugasnya yang perlu dipertanyakan……Tak mengerti apa yang terjadi, lebih tak mengerti dengan apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, terasa olehku kaki tak mampu ku angkat. Seperti terpaku membisu melihat kenyataan dan bayangan kenangan terbawa asap menuju khayangan….

Ibu…….tersentak sapaan, lamunan pun buyar. Ku kumpulkan tenaga dan memaksa bergerak, sebisa mungkin ku pasang wajah ketegaran, sambil beranjak kulempar pandangan ke sekeliling, terekam di otakku mereka yang  tersenyum sinis dengan wajah manis , mereka yang berbicara dengan air mata terseka, mereka yang sibuk hilir mudik dengan telepon seluler melekat di telinga, pewarta yang mencari berita, mereka yang menepuk pundakku,  memeluk dan mengucapkan kata kata penguat. Akan selalu ku ingat  mereka semua dengan semua yang mereka lakukan hari ini.

Sebelum akhirnya kakiku terhenti dan terasa lemas lagi melihat Ibu terkulai menutup mata dan memegang kepala di sebelah kakak yang berusaha menyeka air mata ketika ku datang……..oh Tuhan, sebulan yang lalu mereka ini setia mendampingi dalam perjuangan hidup matiku di tempat tidur melawan meningitis, apakah kesempatan yang Kau berikan kali ini dimaksudkan agar aku menyaksikan kepiluan…? Tangan dan mulutku bergetar berusaha membuka tutupan tangan ibu diwajah sayu, suara tangisnya sungguh menyayat, mulutku tetap berusaha melafalkan nama Tuhan AUM. Tanganku menuju kepala ibu bagian atas, terasa lembek seperti kepala bayi. Ku pegang selama ku bisa, tak ada kata kecuali air mata…. Berusaha ku ucap kata ikhlas dan setelah itu mulutku bicara tanpa bisa ku kontrol , meluncur kalimat syukur dan ikhlas seperti yang selama ini ku dengar dari MTGW, ku baca dari status Mario Teguh,status – status inspirasi dan motivasi lainnya, yang senantiasa selalu ku upayakan. Bahwa sanya kalau sudah kehendak tuhan tak ada yang mampu mengelak, bukankah segala yang ada adalah pemberian Nya termasuk jiwa yang masih berstana di raga? Dan entah apa lagi kalimat kalimat sejenis yang ku ucapkan hingga tanpa kusadar tangis ibu terdiam.

Setelah kurasakan beliau sedikit tenang, ku minta yang ada disekelilingnya untuk menjaga dan mengajak bicara hal hal lain selain peristiwa hari ini, dan  kembali ku kunjungi TKP. Pikiran terus bergerak menyatukan puing puing harapan, berjuta pikiran seandainya dan andaikan saja berusaha menyabotase. Entah apa yang akan ku putuskan dengan pikiran yang masih saja bernegosiasi dengan kenyataan, bagaimana recovery, bagaimana pelanggan, bagaimana sumber dana, dan bagaimana bagaimana yang lain. Sampai akhirnya beberapa petugas datang untuk melakukan olah TKP. ku tak pedulikan, aku terlalu sibuk dengan pikiranku, dan perasaanku.

Kira kira pk 11.30 wita seseorang datang memintaku ke polsek untuk dimintai keterangan, belakangan baru kutahu orang tersebut adalah reserse, bersamaan dengan ku juga ada seorang ibu yang sedang dimintai keterangan, dari jawaban ibu itu baru ku tahu bahwa sumber api berasal dari toko pojok yang ditinggal mudik penghuninya…. ….hhhmmmm, sistem hukum  yang menjemukan, sekaligus mengecewakan, jangankan ada simpati terhadap musibah yang terjadi, justru pertanyaannya seperti akan menangkap seekor kambing hitam untuk kurban, hampir 4 jam hanya untuk membuat 2 lembar laporan pemeriksaan.

Ibu sudah dibujuk pulang, bersama cucunya yang semoga bisa mengundang senyum bahkan kalau mungkin tawa neneknya. Aku duduk selonjoran di sebuah bale bale belakang TKP, yang belum di Police Line, mungkin karena kehabisan. Pikiran nerawang tak tentu, terbayang istriku yang siang tadi sempat ikut mengorek ngorek puing puing seperti mencari sesuatu, “maafkan, walaupun profesi seorang pemulung sangat mulia, tapi bukan bermaksud menjadikanmu pemulung, menanggalkan seragam kerjamu, dan melupakan anggukan beberapa rekan kerjamu di kantor” Itu sebabnya tak kuinginkan hadirmu saat ini, walau tujuanmu senantiasa mulia. Dalam upaya mewujudkan janjiku padamu agar tak tampak olehmu, mataku yang berubah merah, kata kata yang meledak dengan tangan terkepal. …………. Terasa panas mataku, mengalir melewati setengah pipi meluncur ketelinga membuatku terbangun dari tengadah sebelum bulir air itu menerobos lebih jauh.

Ku berusaha fokuskan pikiran dan perasaan ini pada kebahagiaan, keberlimpahan, rasa syukur.  Berusaha mengabaikan pikiran negative yang membuat nyaman perasaan. Seperti tarik tambang yang menarik pikiran ke sisi yang berlawanan, terasa sakit didada, seperti  tertekannya perasaan.
Dalam hati bertanya inikah perjuangan Ikhlas… tetap bersyukur dalam keadaan apapun?
Ya Tuhan….. untuk ikhlas aja harus berusaha, harus berjuang mengendalikan pikiran dan memilih perasaan yang ingin dirasakan. Tidak semudah mengatakan seperti yang orang orang ucapkan.
Aku tidak mau larut, biarlah sementara aku seperti batu, tak larut direbus, tak hangus dibakar. Ku lihat telapak tangan yang bernoda arang, bahkan sampai sandal jepit berubah hitam, menepuk dan membasuhnya dengan sisa air yang ada, ku kelilingi sekali lagi tampak olehku sanggar surya (tempat suci) yang lebih bersih dari biasanya karena terkena air, kuraba tak ada lecet atau luka bakar sedikitpun, bahkan tedung yang memayunginya tetap utuh…… apa yang sedang terjadi…? Analisa demi analisa mulai memenuhi kepala dan semua di luar nalar pemahamanku.

Pasar yang digerogoti pedangang bersepeda tanpa ijin, terlihat seperti siluman pedagang kaki lima. Entah sudah berapa lembar laporan kami tanpa jawaban apalagi tindakan dari pihak berwenang, sementara pedagang legal dengan nilai kontrak yang tinggi, dan notabene memberikan masukan pada Pelindo sebagai pemilik lahan, yang tercatat sebagai setoran pendapatan dan setelah dipotong  biaya biaya akan menjadi laba Pelindo guna mencetak prestasi dalam laporan keuangannya, masih dianak tirikan. Belum termasuk setoran siluman berkaitan kontrak, hari raya dan tahun baru. Khusus untuk hal ini pelakunya bukan instansi tapi oknum, oknum yang bergerak atas nama instansi.

Dengan alasan perut, tak dapat kami salahkan mereka yang melakukan usaha, walaupun harus membagi kue yang ada, dari pada mereka melakukan tindak kejahatan. Dan dengan alasan lapar pula apapun akan kami perjuangkan, melihat mereka yang bergantung nafkahnya pada kami yang dipercaya Tuhan menjadi saluran berkah bagi mereka. Karena pertimbangannya bukan hanya keuntungan tapi kemerataan kebagaiaan, yang tidak serta merta didapat dari keuntungan atau laba.

Tonggak yang sudah ditancapkan alm bapak dan ibu tahun 1984 ditempat ini, akan terus ada sampai kapanpun. Bahkan akan selalu mengiyang ditelinga, dongeng sebelum tidurnya bahwa sejarahnya adalah menghabiskan 1 sandal jepit per hari untuk mendorong gerobak berkeliling, dan setelah dihitung diakhir hari pendapatannya jadi berkurang karena harus beli sandal untuk esok hari. Itu sebabnya dia memilih mempertimbangkan saran seorang teman untuk menyewa tempat ditempat ini pada tahun itu. Dengan ibu sebagai penjaganya dan beliau berkesempatan bekerja sebagai buruh kapal, sehingga pendapatan jadi double, tidak beli sandal tiap hari, dan dialokasikan untuk bayar sewa. Sangat sederhana prinsip dan motivasinya.

Menjelang petang ku sudahi liarnya pikiranku dan beranjak pergi dengan satu keyakinan, harus segera mulai lagi, melupakan semua yang telah terjadi apalagi kejadian ini. Dengan beberapa daftar tindakan yang harus dilakukan, yang belum kutulis, yang masih melekat dikepala diantaranya adalah, kontak bank kami, kontak tukang dan yang terpenting ijin dari Pelindo. Semoga dilancarkan usaha recovery kami di tempat semula. Dan semua kusampaikan dalam doa yang ku lepas ke semesta.

Dari musibah yng terjdi, sebenarnya saya memiliki 2 pilihan sikap :

1. Memilih untuk merasa sial, apes, karena sudah mengalami bencana, dan melemparkan kesalahan pada yang lain, spt pemadam yang tidak siap air, pemilik sebelah kurang berhati hati, atau angin yang terlalu kencang sehingga api dengan cepat melalap apa yang dilaluinya
2. Memilih untuk merasa beruntung dan bersyukur luar
biasa, karena hanya bangunan beserta isinya yang terbakar sementara ibu,kakak,adik saya dan yang lain selamat  tak kurang suatu apapun .

Anda sudah bisa tebak, saya memilih pilihan yang ke 2.
“Keberuntungan adalah sebuah pilihan kita sendiri, bukan pemberian atau hadiah darimana atau siapapun.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar