3 agustus 2014
Harus memulai cerita ini dari mana, akupun tak tahu… ku terima telepon di hari minggu yang tenang
pukul 8.47 wita, saat harusnya ku habiskan waktu dengan GP beo dan bundanya……
Suara di telepon itu mengganggu konsentrasi , emosi dan
fokus pikiran. Tidak perlu menunggu lama kulepas GP dengan bundanya, memacu
motor menuju benoa. Ladang yang
menghidupi kami sekeluarga, Ladang sejuta kenangan bagi kami, tak berdaya
melawan panasnya kobaran api dan kencangnya tiupan angin, satu persatu
penyangga atap berjatuhan, seperti mengerang kemudian meregang. Dan lebih tak
berdayanya kami dengan berontaknya hati melihat barang barang yang membantu menghidupi
kami tak mampu diselamatkan… letupan demi letupan seperti begembira merayakan
selepas lebaran, seolah kami menyajikan pertunjukan spektakuler sehingga
menghipnotis orang orang untuk menonton dan hanya beberapa yang berinisiatif
ikut berlaga dalam arena, berusaha mengusir utusan dewa brahma.
Mobil pemadam milik Pelindo III Benoa, harapan pertama
datang seperti serdadu tanpa peluru. Aku tak habis pikir “bagaimana bisa mobil
pemadam tidak siaga dengan persediaan air di tangkinya?” atau kwalitas petugasnya
yang perlu dipertanyakan……Tak mengerti apa yang terjadi, lebih tak mengerti
dengan apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, terasa olehku kaki tak mampu
ku angkat. Seperti terpaku membisu melihat kenyataan dan bayangan kenangan
terbawa asap menuju khayangan….
Ibu…….tersentak sapaan, lamunan pun buyar. Ku kumpulkan
tenaga dan memaksa bergerak, sebisa mungkin ku pasang wajah ketegaran, sambil
beranjak kulempar pandangan ke sekeliling, terekam di otakku mereka yang tersenyum sinis dengan wajah manis , mereka
yang berbicara dengan air mata terseka, mereka yang sibuk hilir mudik dengan
telepon seluler melekat di telinga, pewarta yang mencari berita, mereka yang
menepuk pundakku, memeluk dan
mengucapkan kata kata penguat. Akan selalu ku ingat mereka semua dengan semua yang mereka lakukan
hari ini.
Sebelum akhirnya kakiku terhenti dan terasa lemas lagi
melihat Ibu terkulai menutup mata dan memegang kepala di sebelah kakak yang
berusaha menyeka air mata ketika ku datang……..oh Tuhan, sebulan yang lalu
mereka ini setia mendampingi dalam perjuangan hidup matiku di tempat tidur melawan
meningitis, apakah kesempatan yang Kau berikan kali ini dimaksudkan agar aku
menyaksikan kepiluan…? Tangan dan mulutku bergetar berusaha membuka tutupan
tangan ibu diwajah sayu, suara tangisnya sungguh menyayat, mulutku tetap
berusaha melafalkan nama Tuhan AUM. Tanganku menuju kepala ibu bagian atas,
terasa lembek seperti kepala bayi. Ku pegang selama ku bisa, tak ada kata
kecuali air mata…. Berusaha ku ucap kata ikhlas dan setelah itu mulutku bicara
tanpa bisa ku kontrol , meluncur kalimat syukur dan ikhlas seperti yang selama
ini ku dengar dari MTGW, ku baca dari status Mario Teguh,status – status
inspirasi dan motivasi lainnya, yang senantiasa selalu ku upayakan. Bahwa sanya
kalau sudah kehendak tuhan tak ada yang mampu mengelak, bukankah segala yang
ada adalah pemberian Nya termasuk jiwa yang masih berstana di raga? Dan entah
apa lagi kalimat kalimat sejenis yang ku ucapkan hingga tanpa kusadar tangis
ibu terdiam.
Setelah kurasakan beliau sedikit tenang, ku minta yang ada
disekelilingnya untuk menjaga dan mengajak bicara hal hal lain selain peristiwa
hari ini, dan kembali ku kunjungi TKP.
Pikiran terus bergerak menyatukan puing puing harapan, berjuta pikiran
seandainya dan andaikan saja berusaha menyabotase. Entah apa yang akan ku
putuskan dengan pikiran yang masih saja bernegosiasi dengan kenyataan,
bagaimana recovery, bagaimana pelanggan, bagaimana sumber dana, dan bagaimana
bagaimana yang lain. Sampai akhirnya beberapa petugas datang untuk melakukan
olah TKP. ku tak pedulikan, aku terlalu sibuk dengan pikiranku, dan perasaanku.
Kira kira pk 11.30 wita seseorang datang memintaku ke
polsek untuk dimintai keterangan, belakangan baru kutahu orang tersebut adalah
reserse, bersamaan dengan ku juga ada seorang ibu yang sedang dimintai
keterangan, dari jawaban ibu itu baru ku tahu bahwa sumber api berasal dari
toko pojok yang ditinggal mudik penghuninya…. ….hhhmmmm, sistem hukum yang menjemukan, sekaligus mengecewakan,
jangankan ada simpati terhadap musibah yang terjadi, justru pertanyaannya
seperti akan menangkap seekor kambing hitam untuk kurban, hampir 4 jam hanya
untuk membuat 2 lembar laporan pemeriksaan.
Ibu sudah dibujuk pulang, bersama cucunya yang semoga
bisa mengundang senyum bahkan kalau mungkin tawa neneknya. Aku duduk selonjoran
di sebuah bale bale belakang TKP, yang belum di Police Line, mungkin karena
kehabisan. Pikiran nerawang tak tentu, terbayang istriku yang siang tadi sempat
ikut mengorek ngorek puing puing seperti mencari sesuatu, “maafkan, walaupun
profesi seorang pemulung sangat mulia, tapi bukan bermaksud menjadikanmu
pemulung, menanggalkan seragam kerjamu, dan melupakan anggukan beberapa rekan
kerjamu di kantor” Itu sebabnya tak kuinginkan hadirmu saat ini, walau tujuanmu
senantiasa mulia. Dalam upaya mewujudkan janjiku padamu agar tak tampak olehmu,
mataku yang berubah merah, kata kata yang meledak dengan tangan terkepal. ………….
Terasa panas mataku, mengalir melewati setengah pipi meluncur ketelinga
membuatku terbangun dari tengadah sebelum bulir air itu menerobos lebih jauh.
Ku berusaha fokuskan pikiran dan perasaan ini pada
kebahagiaan, keberlimpahan, rasa syukur.
Berusaha mengabaikan pikiran negative yang membuat nyaman perasaan.
Seperti tarik tambang yang menarik pikiran ke sisi yang berlawanan, terasa
sakit didada, seperti tertekannya
perasaan.
Dalam hati bertanya inikah perjuangan Ikhlas… tetap
bersyukur dalam keadaan apapun?
Ya Tuhan….. untuk ikhlas aja harus berusaha, harus
berjuang mengendalikan pikiran dan memilih perasaan yang ingin dirasakan. Tidak
semudah mengatakan seperti yang orang orang ucapkan.
Aku tidak mau larut, biarlah sementara aku seperti batu,
tak larut direbus, tak hangus dibakar. Ku lihat telapak tangan yang bernoda
arang, bahkan sampai sandal jepit berubah hitam, menepuk dan membasuhnya dengan
sisa air yang ada, ku kelilingi sekali lagi tampak olehku sanggar surya (tempat
suci) yang lebih bersih dari biasanya karena terkena air, kuraba tak ada lecet
atau luka bakar sedikitpun, bahkan tedung yang memayunginya tetap utuh…… apa
yang sedang terjadi…? Analisa demi analisa mulai memenuhi kepala dan semua di
luar nalar pemahamanku.
Pasar yang digerogoti pedangang bersepeda tanpa ijin,
terlihat seperti siluman pedagang kaki lima. Entah sudah berapa lembar laporan
kami tanpa jawaban apalagi tindakan dari pihak berwenang, sementara pedagang
legal dengan nilai kontrak yang tinggi, dan notabene memberikan masukan pada
Pelindo sebagai pemilik lahan, yang tercatat sebagai setoran pendapatan dan
setelah dipotong biaya biaya akan
menjadi laba Pelindo guna mencetak prestasi dalam laporan keuangannya, masih
dianak tirikan. Belum termasuk setoran siluman berkaitan kontrak, hari raya dan
tahun baru. Khusus untuk hal ini pelakunya bukan instansi tapi oknum, oknum
yang bergerak atas nama instansi.
Dengan alasan perut, tak dapat kami salahkan mereka yang
melakukan usaha, walaupun harus membagi kue yang ada, dari pada mereka
melakukan tindak kejahatan. Dan dengan alasan lapar pula apapun akan kami
perjuangkan, melihat mereka yang bergantung nafkahnya pada kami yang dipercaya
Tuhan menjadi saluran berkah bagi mereka. Karena pertimbangannya bukan hanya
keuntungan tapi kemerataan kebagaiaan, yang tidak serta merta didapat dari
keuntungan atau laba.
Tonggak yang sudah ditancapkan alm bapak dan ibu tahun
1984 ditempat ini, akan terus ada sampai kapanpun. Bahkan akan selalu mengiyang
ditelinga, dongeng sebelum tidurnya bahwa sejarahnya adalah menghabiskan 1
sandal jepit per hari untuk mendorong gerobak berkeliling, dan setelah dihitung
diakhir hari pendapatannya jadi berkurang karena harus beli sandal untuk esok
hari. Itu sebabnya dia memilih mempertimbangkan saran seorang teman untuk
menyewa tempat ditempat ini pada tahun itu. Dengan ibu sebagai penjaganya dan
beliau berkesempatan bekerja sebagai buruh kapal, sehingga pendapatan jadi
double, tidak beli sandal tiap hari, dan dialokasikan untuk bayar sewa. Sangat
sederhana prinsip dan motivasinya.
Menjelang petang ku sudahi liarnya pikiranku dan beranjak
pergi dengan satu keyakinan, harus segera mulai lagi, melupakan semua yang
telah terjadi apalagi kejadian ini. Dengan beberapa daftar tindakan yang harus
dilakukan, yang belum kutulis, yang masih melekat dikepala diantaranya adalah,
kontak bank kami, kontak tukang dan yang terpenting ijin dari Pelindo. Semoga
dilancarkan usaha recovery kami di tempat semula. Dan semua kusampaikan dalam
doa yang ku lepas ke semesta.
Dari musibah yng terjdi, sebenarnya
saya memiliki 2 pilihan sikap :
1. Memilih untuk merasa sial, apes, karena sudah mengalami bencana, dan melemparkan kesalahan pada yang lain, spt pemadam yang tidak siap air, pemilik sebelah kurang berhati hati, atau angin yang terlalu kencang sehingga api dengan cepat melalap apa yang dilaluinya
2. Memilih untuk merasa beruntung dan bersyukur luar biasa, karena hanya bangunan beserta isinya yang terbakar sementara ibu,kakak,adik saya dan yang lain selamat tak kurang suatu apapun .
Anda sudah bisa tebak, saya memilih pilihan yang ke 2.
“Keberuntungan adalah sebuah pilihan kita sendiri, bukan pemberian atau hadiah darimana atau siapapun.”
1. Memilih untuk merasa sial, apes, karena sudah mengalami bencana, dan melemparkan kesalahan pada yang lain, spt pemadam yang tidak siap air, pemilik sebelah kurang berhati hati, atau angin yang terlalu kencang sehingga api dengan cepat melalap apa yang dilaluinya
2. Memilih untuk merasa beruntung dan bersyukur luar biasa, karena hanya bangunan beserta isinya yang terbakar sementara ibu,kakak,adik saya dan yang lain selamat tak kurang suatu apapun .
Anda sudah bisa tebak, saya memilih pilihan yang ke 2.
“Keberuntungan adalah sebuah pilihan kita sendiri, bukan pemberian atau hadiah darimana atau siapapun.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar