Setiap
bulan Agustus saya selalu teringat sebuah cerita inspiratif, kali ini
saya ngin share kepada sahabat FB, selamat membaca dan berbagi _/|\_
Jika Kita Bisa Lebih Cepat
Ada seorang anak muda dengan ayahnya, yang memiliki suatu lahan pertanian.
Beberapa kali dalam setahun mereka akan memanen hasil pertanian
mereka,lalu memenuhi gerobak dengan sayur-sayuran dan pergi ke kota
terdekat untuk menjual hasil produksinya.
Selain nama dan asal mereka yang sama, karakter dan tingkah laku mereka benar-benar jauh berbeda.
Sang ayah percaya dalam melakukan sesuatu hendaknya dinikmati. Lain
halnya dengan anaknya, ia selalu tergesa-gesa, tipe orang yang ambisius.
Suatu pagi yang cerah, mereka mengikat seekor kerbau untuk menarik
gerobak yang penuh dengan sayuran itu dan memulai perjalanan jauh. Sang
anak berpikir jika mereka bisa jalan lebih cepat, terus-menerus setiap
hari dan malam, mereka bisa sampai ke pasar di pagi berikutnya.
Maka ia terus memecut kerbau dengan tongkat, memaksa hewan itu untuk terus berjalan.
"Tenang saja, anakku," kata sang ayah. "Kamu akan hidup lebih lama."
"Tetapi jika kita sampai ke pasar lebih dulu dari yang lainnya, kita akan bisa menjual lebih banyak," bantah anaknya.
Tidak ada jawaban. Sang ayah menurunkan topinya untuk menutupi matanya
lalu tidur di gerobak. Kesal dan geram, sang anak tetap memaksa kerbau
untuk berjalan lebih cepat. Sifatnya yang keras kepala tidak setuju apa
yang dikatakan ayahnya.
Empat jam dan 4 mil di perjalanan, mereka singgah di sebuah rumah kecil.
Sang ayah bangun, tersenyum dan berkata, "Ini adalah rumah pamanmu. Mari kita singgah dulu dan menyalaminya."
"Tetapi kita sudah kehilangan waktu 1 jam." keluh anaknya.
"Lalu, tidak masalah kan kalau kehilangan beberapa menit lagi. Adikku
dan aku tinggal berdekatan, tetapi kita jarang saling mengunjungi,"
jawab ayahnya pelan.
Sang anak merasa gelisah dan menggerutu
ketika 2 pria tua itu tertawa dan berbincang hampir 1 jam. Kemudian
mereka melanjutkan perjalanannya, sang ayah menggantikan tugas anaknya
menuntun kerbau.
Ketika mereka tiba di jalan bercabang, sang ayah menuntun kerbau itu ke kanan.
"Arah kiri kan lebih cepat," kata anaknya.
"Aku tahu, tapi jalan ini lebih indah." sahut ayahnya.
"Apakah ayah tidak menghargai waktu?" tanya anaknya tidak sabar.
"Oh, aku menghargainya sekali! Makanya, aku ingin melihat keindahan dan menikmati setiap detiknya."
Jalan yang berliku-liku menuntun mereka melewati padang rumput yang
indah, bunga-bunga liar, dan ombak di pantai - di mana semuanya itu
tidak dinikmati oleh anak muda itu. Ia gelisah, sibuk sendiri dan
diliputi oleh kekhawatiran. Ia bahkan tidak menyadari betapa indahnya
matahari tenggelam hari itu.
Senja tiba. Surya tenggelam menyinari
padang gurun sehingga tampak lebih merah. Sang ayah menghirup aroma
senja, mendengarkan bunyi air sungai mengalir, dan menarik kerbau ke
tempat persinggahan. "Mari kita tidur disini," ajaknya.
"Ini
adalah perjalananku terakhir yang kulakukan bersamamu," kata anaknya
sambil marah. "Kau lebih tertarik untuk melihat matahari tenggelam dan
menghirup wangi bunga daripada mencari uang!"
Ayahnya
tersenyum. Beberapa menit kemudian, ia tertidur, sementara itu sang anak
memandang langit yang penuh dengan bintang. Malam itu berlalu sangat
pelan, dan ia tetap merasa gelisah.
Sebelum matahari terbit, anak muda itu dengan segera membangunkan ayahnya.
Mereka lekas naik gerobak dan melanjutkan perjalanannya. Sekitar 1
mil,mereka melihat seorang petani yg tidak mereka kenal berusaha untuk
menarik gerobaknya dari selokan.
"Mari kita bantu dia." bisik ayahnya.
"Dan kehilangan beberapa waktu lagi?" bentak anaknya.
"Tenang, anakku... kau mungkin bisa mengalami hal ini sendiri. Kita
butuh bantuan orang lain ketika kita memerlukannya, jangan lupakan hal
itu."
Dengan pandangan marah, anak itu menuruti perkataan ayahnya.
Hari itu sudah hampir jam 8 ketika gerobak petani itu berhasil ditarik keluar dari selokan.
Tiba-tiba, sebuah percikan cahaya membelah langit.
Kemudian diikuti oleh bunyi geledek. Di belakang bukit-bukit, langit tampak hitam.
"Sepertinya akan turun hujan besar di kota," kata ayahnya.
"Jika kita bisa lebih cepat, dagangan kita mungkin sudah habis sekarang ini." gerutu anaknya.
"Tenanglah... kamu akan hidup lama. Dan kamu akan menikmati hidup lebih lama," nasihat ayahnya itu.
Hari itu sudah siang ketika mereka tiba di bukit untuk melihat kota
tujuan mereka. Mereka berhenti dan melihat ke bawah cukup lama.
Tidak ada di antara mereka yang bicara. Akhirnya, anak muda itu menepuk
pundak ayahnya dan berkata, "Aku mengerti apa yg kau maksud, ayah."
Mereka membalikkan gerobak dan mulai meninggalkan kota itu, kota yang dulu disebut Hiroshima.
(Billy Rose)
Dear Friend,
Semakin kini dunia,semakin kita dituntut untuk melakukan segala sesuatu
lebih cepat, lebih keras dan lebih besar dari sebelumnya… dengan
tekanan efisiensi dan efektivitas sebagai alasan utama dan desakan
kebutuhan materi , manusia seringkali diperlakukan atau memperlakukan
dirinya sebagai robot.
Kita sering belajar menjadi lebih cepat dan
terburu-buru tapi jarang sekali belajar untuk menunggu,.. belajar
membuat yg lebih besar dan bukan lebih baik…
Disinilah kita hidup dimana pencapaian materi sering mengorbankan segalanya termasuk prinsip2 yg kita pegang teguh sebelumnya.
Mungkin indahnya bintang, deburan ombak juga sejuknya udara pegunungan
serta merdunya kicauan burung adalah sesuatu hal yang biasa pada saat
ini, tapi seiring dengan waktu yg berpacu dengan usia, dimana
penglihatan dan pendengaran serta kondisi tubuh yang mulai melemah ,maka
bisa jadi semua hal diatas akan berubah menjadi barang antik nan langka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar