Senin, 18 Agustus 2014

Kisah Seorang Anak Yang Membeli Ice Cream

ice cream Kisah Seorang Anak Yang Membeli Ice Cream
Pada sekitar tahun 1930-an, ada sebuah kisah yang sangat menginspirasi, yaitu kisah seorang anak berumur 10 tahun yang ingin membeli ice cream untuk dirinya. Siang itu, si anak mendatangi sebuah kedai minuman dan langsung duduk di salah satu tempat di dalam kedai itu. Lalu seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan gelas air minum di depan si anak.
Hari itu si anak ingin sekali makan ice cream favorite nya yaitu ice cream sundae. Lalu ia bertanya kepada si pelayan tadi “mba, berapa harga satu porsi ice cream sundae?”. Lalu si pelayan dengan cepat menjawab ” harganya 50 sen dik”. Si anak kemudian mulai merogoh kantung celananya dan mengeluarkan semua uang koin yang ada di dalam kantung celananya itu dengan perlahan, dan menghitung uangnya dengan hati-hati. Sepertinya si anak menyadari bahwa uang nya tidak cukup untuk membeli ice cream sundae karena kemudian dia bertanya lagi pada si pelayan “kalau ice cream yang biasa saja harganya berapa mba?”. Pada saat itu sudah banyak pengunjung kedai itu yang sedang menunggu untuk dilayani. Si pelayan menjadi tidak sabar dan menjawab dengan agak kasar pada si anak “harganya 35 sen”, sambil menunjukkan sikap seperti orang yang sedang jengkel dan ingin meninggalkan si anak karena tidak sabar.
Lalu dengan perlahan, si anak kemudian menghitung uang koinnya lagi, dan kemudian berkata pada si pelayan “Ya sudah, saya pesan ice cream yang biasa aja mba”. Lalu si pelayan pergi meninggalkan si anak untuk mengambilkan pesanannya itu. Tidak lama kemudia si pelayanan membawakan ice cream pesanan si anak tadi dan meninggalkan bon di meja si anak, lalu si anak mulai menikmati ice cream yang dia pesan.
Setelah si anak menghabiskan ice cream yang dia beli, lalu dia membayar ice cream tadi di kasir dan langsung pergi dari kedai itu. Ketika si pelayan akan membersihkan meja yang dipakai anak tadi, dia melihat dua koin 5 sen dan 5 koin satu sen yang sengaja diletakkan si anak di samping mangkuk tempat ice creamnya. Inilah alasan kenapa anak itu tidak jadi membeli ice cream sundae seharga 50 sen, karena si anak ingin memberikan uang tip yang layak (15 sen) pada si pelayan. Si pelayan pun kaget atas kebaikan si anak tadi dan mulai menangis karena terharu dan merasa bersalah telah berlaku agak kasar pada si anak.
Kita pasti pernah berlaku seperti si pelayan pada orang lain yang baru kita kenal. Sangat sering kita cepat mengambil kesimpulan dan menghakimi orang lain karena kita melihat sebuah kejadian hanya dari satu sisi saja – hanya dari sudut pandang kita sendiri.  Sesuatu yang kelihatan tidak baik pada satu sisi belum tentu tidak baik pada sisi yang lainnya. Apa yang dilakukan si anak tadi – menghitung uang koinnya dengan perlahan – membuat si pelayan merasa jengkel, ternyata berujung pada niat baik si anak yang ingin memberikan tip pada si pelayan. Dan sayangnya si pelayan terlalu cepat menghakimi dan terlambat menyadari kebaikan si anak.
Sebelum kita mengalami hal yang sama seperti cerita di atas, marilah kita belajar untuk memahami suatu peristiwa dan seseorang dari berbagai sudut pandang, agar kita dapat mengambil tindakan dan mengeluarkan perkataan yang lebih baik yang tidak akan kita sesali di masa yang akan datang. Semoga cerita ini menginsipirasi Anda icon smile Kisah Seorang Anak Yang Membeli Ice Cream
Disadur dari: AndrieWongso.com

Merah Putih dan 69.


Membaca tanda, berbagi filosofi, dan mengambil nilai buat sebuah sugesti positif.
Merah dan putih adalah kesatuan yang sangat dipercaya leluhur bangsa Indonesia sebagai warna bikromatik yang sakti. Majapahit bisa menguasai Nusantara berkat sugesti hebat yang digelorakan bendera bangsanya yang disebut Getih Getah yang memang berwarna merah putih.
Leluhur kita percaya bahwa getih yang berwarna merah dan getah yang berwarna putih adalah sumber hidup buat tumbuh kuat dan tumbuh suburnya makhluk yang bernafas. Warna merah dan putih adalah perlambang sumber energi buat menjadi kuat.
Bangsa ini sangat meyakini saat merah dan putih disatukan, akan menjadi kekuatan yang hebat, di saat sebuah bara semangat dan keberanian yang dicitrakan oleh warna merah berkolaborasi dengan kebijakan dan kesucian hati yang dipendarkan oleh warna putih. Tidak ada yang lebih mulia dari seorang pemberani yang bijak, berhati bersih dan suci, bukan? Itu semua yang ingin dikobarkan oleh pendiri-pendiri bangsa Indonesia, melanjutkan sugesti para leluhurnya sebelum bangsa ini terbentuk, lewat kekuatan warna, merah putih.
Demikian pula dengan tahun kemerdekaan kali ini, enam puluh sembilan. Bukan angka sembarangan.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, saat mendengar dan membaca angka 69 akan langsung tersenyum dan memunculkan sebuah pikiran nakal berpersepsi seksual. Memang bukan hal yang salah, karena memang angka ini sangat populer untuk label sebuah citra gaya dan posisi seksual yang sangat diminati. Karena memang menyenangkan dan membawa keuntungan bersama peminatnya.
Keuntungan bersama? Memang itu kelebihan angka 69. Makna lain yang lebih muncul sejak dulu dari angka ini adalah tentang keseimbangan, sinergi dan mutualisme. Mutualisme inilah yang berarti keuntungan bersama, selama bisa menjalankannya.
Mereka yang percaya keberuntungan berasal dari kekuatan energi yang serasi dan seimbang, akan melihat bentuk dan aura angka 69 layaknya keseimbangan sempurna yin dan yang. Demikian pula keseimbangan yang ditawarkan angka ini bak sinergi purusha dan pradhana yang saling melengkapi. Keseimbangan yang sempurna, dengan sinergi yang harmonis, tentu akan berbuah hasil manis dan produktif jika dijalankan dengan semangat.
Bukankah ini bisa diartikan sebagai tanda alam yang positif? Tentu masih jauh dari kajian ilmiah. Tetapi saat kita ingin membangkitkan semangat, kita juga perlu sebuah sugesti kuat, layaknya leluhur kita menguasai Nusantara dan lanjut melahirkan bangsa ini 69 tahun lalu. Kata orang bijak, kesuksesan akan datang saat ada kemauan untuk maju, di saat yang tepat.
Hari ini, semuanya bertemu menjadi satu. Semangat merah putih, bertemu dengan kehadiran sang waktu yang membawa keseimbangan, keharmonisan yang harusnya bisa menjadi sinergi buat bermutualisme mendatangkan keuntungan bersama. Keuntungan, keberhasilan dan kemajuan sebagai bangsa.
Mari selesaikan segera semua perselisihan. Mari bersatu kembali sebagai bangsa. Kita punya segalanya. Harusnya kita semua bisa bersinergi buat menjadikan bangsa ini menjadi maju. Dan merdeka yang sesungguhnya.
Seperti yang diinginkan leluhur dan pendiri bangsa.
Merdeka Indonesiaku.
Denpasar, 17 Agustus 2014.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Kisah Elang dan Kalkun (maxmanroe.com)


kisah elang dan kalkun1 Kisah Elang dan Kalkun
Kisah kalkun dan elang ini diambil dari sumber lain di internet yang menurut saya sangat inspiratif. Mudah-mudahan kita bisa mengambil pesan moral yang ada dalam kisah ini.
Dikisahkan bahwa dahulu kala burung elang dan kalkun adalah sahabat baik. Mereka selalu melakukan kegiatan berdua, membangun sarang mereka bersama, mencari makan juga bersama-sama, bahkan ‘hang out’ terbang di udara pun selalu bersama-sama. Pada jaman dulu bentuk tubuh kalkun tidak seperti sekarang ini, dulu tubuhnya ramping dan atletis seperti burung elang, dan dia dapat terbang dengan gesit untuk mencari makan persis seperti burung elang. Manusia tidak pernah merasa aneh tentang persahabatan kedua burung ini karena elang dan kalkun selalu terlihat terbang bersama-sama di angkasa.
Ketika itu si kalkun dan elang sedang terbang di udara. Si kalkun merasa lapar dan ingin mencari sesuatu untuk di makan, lalu dia berkata pada elang “Lang, gue laper banget nih cuy. Cari makanan di daratan yuk, kayaknya banyak makanan yang enak di sono”. Lalu si elang membalas “Ane juga lapar Kun, ide ente boleh juga, mari kita ke daratan nyari makanan”.
Lalu kedua sahabat itu terbang menukik menuju daratan dimana beberapa hewan lain juga sedang berada di sana, kedua burung ini kemudian bergabung untuk makan dengan hewan lainnya di darat. Ketika itu elang dan kalkun mendarat persis di dekat seekor sapi yang sedang menikmati makan jagung manis. Si sapi kelihatan sibuk sekali, tapi kemudian dia berkata pada kedua sahabat itu “Eh ada elang dan kalkun, selamat datang agan-agan. Silahkan cicipi jagung manis ini, rasanya enak lho”.
Keramahan si sapi ini membuat elang dan kalkun terkejut karena selama ini mereka tidak pernah berbagi makanan dengan hewan lain dengan begitu mudahnya. Kemudian si elang berkata pada si sapi “Gan, ente baik bener. Kenapa ente mau berbagi makanan milik ente dengan kami?”. Lalu si sapi menjawabnya “Kagak papa gan, makanan di sini banyak kog. Tuan petani selalu memberikan makanan yang kami butuhkan setiap hari, enjoy aja lagi”. Jawaban si sapi membuat kedua sahabat itu semakin kaget, dan semakin penasaran pada cerita si sapi.
Si sapi kemudian bercerita lagi “Tuan petani itu baik sekali dia selalu menyediakan makanan pada kami. Dia juga menanam sendiri jagungnya dan juga bahan makanan lainnya. Kami tidak perlu bekerja sama sekali. Selain itu, Tuan petani juga menyediakan tempat tinggal yang baik bagi kami, lengkap deh gan”. Cerita si sapi membuat elang dan kalkun semakin terheran-heran karena seumur hidup mereka belum pernah mendapatkan kemudahan seperti itu. Mereka harus bekerja keras untuk mencari makanan dan kadang harus rebutan dengan hewan lain. Begitu juga untuk membuat rumah, elang dan kalkun harus membuatnya dengan susah payah.
Setelah kedua sahabat itu selesai menikmati keramahan si sapi lalu mereka pulang dan kemudian mulai berdiskusi tentang pengalaman mereka hari itu. Si kalkun berkata pada sahabatnya “Elang sahabatku yang caem, kayaknya kita harus tinggal juga di tempat tuan petani itu. Kita tidak perlu lagi bekerja keras untuk mencari makanan, dan tempat tinggal juga sudah tersedia. Rasanya ane dah capek terbang dan bekerja keras setiap hari hanya untuk hidup”.
Si elang sempat galau juga dengan pengalamannya hari itu. Lalu dia pun menjawab sahabatnya “Ane ga yakin gan tentang ide ente kali ini. Menurut ane agak ga masuk akal kalo ada pihak yang mau memberikan segala sesuatu tanpa imbalan sama sekali. Selain itu Ane lebih suka terbang bebas di angkasa mengarungi langit biru. Menurut ane bukan hal yang buruk kalo kita bekerja keras untuk mencari makanan dan membangun tempat tinggal kita. Dan itu sebuah tantangan yang menarik sahabat ku kalkun yang caem”.
Kedua sahabat ini tidak sependapat satu sama lain dan akhirnya memutuskan untuk berpisah. Si kalkun memutuskan untuk tinggal di daratan bersama sapi, dia mendapatkan makanan dan tempat tinggal tanpa harus bekerja keras. Berbeda dengan sahabatnya yang lebih suka kebebasan walau harus menghadapi tantangan setiap hari untuk mencari makanan dan tempat tinggal.
Pada saat itu semua berjalan sangat baik bagi si kalkun. Dia mendapat makanan yang enak setiap hari tanpa harus bekerja keras seperti dulu. Lambat laun si kalkun pun akhirnya bertambah gemuk dan semakin malas. Lalu pada suatu hari si kalkun mendengar berita bahwa istri si Tuan petani ingin membuat hidangan daging kalkun panggang untuk makan malam di hari Thanks Giving. Tentu saja si kalkun kaget dan panik, kemungkinan besar si istri petani akan memasaknya untuk perayaan hari Thanks Giving yang akan datang. Kemudian si kalkun memutuskan untuk meninggalkan tempat Tuan petani dan kembali bersama sahabatnya si Elang.
Namun ketika si kalkun hendak terbang, dia menyadari bahwa badannya sudah terlalu berat dan malas. Dia tidak bisa terbang sama sekali, si kalkun hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya istri Tuan petani menangkapnya, memotong, dan memanggang si kalkun untuk hidangan makan malam di hari Thanks Giving.
Pesan moral dari kisah elang dan kalkun ini
Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan, anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda. Dan Anda akan menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi.
Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis dalam perangkap tikus”.

Mothers-care


Siapa Yang Bisa Nahan Air Mata, Jika Baca Kisah Berikut ini simak yukk
Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang di alam surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan sorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil.
Begitulah yang kurasakan, karena selama ini aku merasa bahwa aku telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anakku, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anakku.
Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anakku masih tertidur. Ohhh aku harus menyediakan makan untuknya.
Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anakku yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja.
Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, aku langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam.
Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan….. di sanalah sumber ‘masalah’nya … sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!
Oh…Tuhan! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anakku yang sedang gembira bermain dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:
“Ayah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya . Karena aku takut mie’nya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan mainanku, aku minta maaf,ayah … “
Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku, tetapi, aku tidak ingin anakku melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisku. Setelah beberapa lama, aku hampiri anakku, kupeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur.
Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang dikasihinya.
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.
Namun, belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar menyesal. Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, “Aku minta maaf, ayah“.
Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara “pertunjukan bakat” yang diadakan oleh sekolah, karena yg diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu.
Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahuku, bahwa disekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis,aku yakin , jika istriku masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya bangga juga!
Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Tapi astaga, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus.
Mereka menelponku dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anakku telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun aku sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anakku lagi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena aku merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf : “Maaf, ayah”. Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.
Setelah itu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah aku mendorong anakku ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, di tengah isak-tangisnya, adalah : “Surat-surat itu untuk ibu…..”. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. …. tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: “Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?” Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat ibu untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus”. Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan.
Aku bilang pada anakku, “Nak, ibu sudah berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk ibu, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada mommy. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Aku berjanji akan membakar surat-surat atas namanya, jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi…. aku jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu.
Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur ‘ibu sayang’, Aku sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara ‘Pertunjukan Bakat’ di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi aku tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi.
Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencariku, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya.
Ibu, setiap hari aku melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Aku pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua. Tapi bu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu muncul dalam mimpiku sehingga aku dapat melihat wajahmu dan ingat kamu? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu, mengapa engkau tak pernah muncul ?
Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena aku tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istriku
Note : Untuk para suami dan laki-laki, yang telah dianugerahi seorang istri/pasangan yang baik, yang penuh kasih terhadap anak-anakmu selalu berterima-kasihlah setiap hari pada istrimu. Dia telah rela menghabiskan sisa umurnya untuk menemani hidupmu, membantumu, mendukungmu, memanjakanmu dan selalu setia menunggumu, menjaga dan menyayangi dirimu dan anak-anakmu.
Hargailah keberadaannya, kasihilah dan cintailah dia sepanjang hidupmu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila engkau telah kehilangan dia, tidak ada emas permata, intan berlian yang bisa menggantikannya.

www.mothers-care.com

Jumat, 15 Agustus 2014

AKU BERHAK MENDAPATKAN YANG TERBAIK UNTUK DIRIKU

.:: SINDROMA KENTANG GOSONG ::.
Ada seorang pakar wine (minuman beraroma anggur) yang mengatakan bahwa ada saatnya kita mencicipi wine yang kurang bermutu. Luangkan diri untuk menenggak wine kelas dua, ujarnya. Cicipi dan rasakan yang lebih buruk. Dengan melakukan hal ini, katanya kita akan sungguh-sungguh merasakan perbedaannya ketika disajikan wine yang benar-benar bermutu.
Kita mungkin kerap mendengar banyak terapis menceritakan kisah “kentang gosong” yang merupakan perumpamaan buat orang-orang yang SELALU memberi diri mereka sendiri makanan kelas dua dan TIDAK PERNAH merasakan makanan yang benar-benar kualitas kelas atas. Kiasan ini mengacu pada kejadian saat koki restoran memanggang kentang terlalu lama serta membuatnya gosong dan bagian yang gosong inilah yang disimpan untuk dia makan.
Kelompok orang yang mengidap “sindroma kentang gosong” tidak pernah mengambil potongan kentang terbaik untuk diri mereka sendiri. Tidak juga membaginya pada orang lain. “Bila ada orang yang pantas memperoleh kentang gosong, akulah orang yang paling tepat,” pikir mereka.
Sindroma kentang gosong adalah analogi bagi seseorang yang selalu memperlakukan diri mereka sendiri pada posisi yang lebih rendah daripada orang lain, posisi kedua. Dari sudut pandang lain, sindroma ini juga mempresentasikan cara kita memperlakukan diri sendiri.
Meskipun tidak ada cara menenggak satu sloki wine atau mengunyah kentang yang “benar”, karena pilihan kita yang berlainanlah yang membuat kita unik dan khas sebagai individu, namun barangkali ada cara-cara yang “lebih baik” dalam menentukan pilihan. Cara yang lebih menunjukkan rasa peduli serta sayang pada diri sendiri dan pada saat yang sama tidak menyakiti atau mengambil hak orang lain.
Kembali pada kisah sang ahli wine yang menyarankan bahwa sekali-kali orang harus mencicipi wine kelas dua agar bisa merasakan nikmatnya wine kelas satu, akhirnya ia menyadari kekeliruannya. Ia sadar bahwa hidupnya di dunia terbatas. Ia menghitung bahwa dalam sisa hidupnya ia hanya bisa menenggak 5000 sloki wine lagi, makan 3000 potong kentang lagi dan bercinta sebanyak 2000 kali lagi.
Atas pertimbangan itulah, kebiasaannya kini berubah. Katanya: “MULAI HARI INI, AKU BERHAK MENDAPATKAN YANG TERBAIK UNTUK DIRIKU.”
(www.energialamsemesta.com)

PUGAR (puisi bergambar)




Kamis, 14 Agustus 2014

PASSPORT by Rhenald Kasali


Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut.
Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

TIKUSKU

ditempatku ada tikus
cantik, ganteng ternyata rakus
sering lupa kerjaan
keasyikan jadi majikan
          sering dibelai dan dipercaya
          memanusiakan.....kata sang majikan
          padahal mata sering bekaca kaca
          bertanya tentang kesetiaan
tikusku sangat pintar
memberi jawaban memutar
dan menjadi mentor
untuk pekerjaan yang kotor
          dari segi bicara
          tikusku seperti burung beo
          pintar meniru kata
          tapi dalam hati..?   no..no..no
tikusku tak peduli masa paceklik
mengerat bahkan merampok dengan halus
hingga majikannya merasa tercekik
mengelus dada dan kerongkongan seperti haus
          namun semua segera berakhir
          sejalan bau kotoran yang ditimbullkan
          cleaning service telah hadir
          mengembalikan aturan yang ditinggalkan

14-8-2014 56th Pemprop Bali

HADIAHKU SEBUAH PUISI

Kudengar pewarta sampaikan berita
tentang prestasi Bali di usia senja
oh...Bali, kau bertambah usia
pulau seribu pura masihkah berjaya?

Hari ini muri mencatatmu
pulau seribu spa julukanmu
penunjang sektor wisata
yang kami sebagai kacungnya

Disini ku berdomisili
merantau mencari rejeki
sebagai penyaksi teluk
yang hendak direklamasi

Berdecak berulang
entah kagum atau meradang
dengan prestasi Bali kini
oleh penguasa pemerkosa

Bisa kubayangkan...
reklamasi datangkan
spa bener atau bayangan
mengumbar nafsu bule gadungan

Sang hyang pitare tergantikan
sang hyang dolar naik ke kawitan
menyembahnya seperti setan
lupa ngayah, lupa pesemetonan

Pulau Dewata seperti gula
investor datang berlomba
penguasa menempel erat bak penjilat
mencari tunjangan masa tua

Kenapa reklamasi...?
tempat lain masih menanti
percikan imbas pembangunan
sebagai langkah pemerataan

Warga yang lugu
semakin sering beradu
berebut wilayah untuk nafkah
menutupi niat serakah


Hai.....kita lah generasi Bali
jangan terjajah ditanah sendiri
lupa saudara untuk pribadi
jenuh tiba, pendatangpun pergi





Senin, 11 Agustus 2014

RAHIM BUAT PUISI - kado untuk Umbu -

Puisi Frans Nadjira


Cuaca telah berubah
sejak jendela orang-orang miskin
tak dapat dibuka.
Aku bersandar di dinding hampa
Malam mendirikan benteng kokoh
antara dunia dan diriku.
Kunang-kunang telah menyalakan
lentera dan kandil-kandil
Udara dingin dan kering.
Sebatang pohon memeluk cahaya bulan
Di tirai samar cabang-cabangnya.
Seperti api yang memendam sejuk nyalanya
Umbu membacakan sajak-sajak gumam.
Masuk ke mimpi-mimpi tak berpintu
Masuk ke relung-relung petir malam.
Umbu, puisi rindu teduh rahim
Puisi ingin menulis di bukit-bukit terjal berbatu.
Penyair hanya pencatat kata-kata penderita vertigo
Tersesat di antara sunyi tidur
Terjebak di lorong-lorong gelisah malam hari.
Sepasang mata menatap riak halus puisimu
Huruf-huruf penderita delusi
Tercenung di rahasia kata-katamu.
Kau dengar teriakan orang-orang miskin itu?
Mereka adalah seribu burung camar
Menukik ke dasar jantungmu
Menyelam ke palung terdalam mimpi-mimpimu.
Di pusat mimpi liar itu
Kita berdiri sepanjang malam
Menyaksikan orang-orang lapar
Mengunyah lumat tubuh mereka sendiri.
Sampai kapan kita bisa diam, Umbu?
Sampai kapan?
Indonesia, apa yang telah kau perbuat pada mereka?
Mereka lapar
Mereka tersedak dalam angin malam.
Lihat wajah mereka Lihat sinar mata mereka
Mereka tidak bicara Mereka tubuh cahaya.
Perut mereka adalah luka bakar Luka cuka
Luka pecahan kaca di jalan-jalan.
Mari Umbu, kita peluk mereka dalam sajak
Kita bongkar kuburan tak bertanda.
Kau hidupkan mereka dalam sajak-sajak airmu
Aku bangkitkan mereka dengan sajak-sajak apiku.

Sabtu, 09 Agustus 2014

dari Wi Teddy

Bila bunga tak lagi merekah
Sang kumbang enggan menyapa
Lukisan tak lagi indah…
Hanya tinggal kanvas-kanvas hitam yang tercecer denegan seribu kenangan..
Tarian bidadari itu tak lagi erotis..
Suara merdu seruling terdengar hampa..
Kupu-kupu hitam putih..
Menjadi persaksian sejagad raya…
Atas kisah mahabarata yang ingin menguasai dunia…
Dan pengorbanan hanuman tak lagi dihiraukan, sehingga menuai kepiluan dan kekecewaan…
Gajah mada tak lagi setia pada sang raja…
Sebab cinta dan sanjungan berubah menjadi sandiwara kebencian dan ajang balas dendam..
Apa ini diambang kehancuran…
Sebuah tatanan yang penuh dengan kerapian…
Jika terjadi, maka terjadilah…
Jika hancur, maka hancurkanlah…
Biar dunia tidak kecewa atas perilaku mahabarata dan gajah mada…
Kisruh dan perang saudara…!

Teddy Putrawan

Kamis, 07 Agustus 2014

Fantasi Syahwat (Puisi Malam Ini)

semoga belum terlambat
ku ganggu istirahatmu sebelum terlelap
hingga ku pastikan hatimu tertutup untuk kepiluan
dari seseorang yang merindukan belaian

kuat dalam tekanan seperti kunti
membakar hati seperti api
membuat masalah takluk tak bernyali
seperti guru bakry lari sembunyi

dan jika kau menjadi bingung
jangan sampai menjadi linglung
dengan curahanku yang terkesan kampung
berdiri diatas cobaan seperti mengapung

ah.....hanya fantasi syahwat
yang tak terlepas bikin gawat
dilepas benar menjadi berkat
dari manusia yang kurang diruwat

GedePrama bijak

Kepintaran ibarat batu. Itu sebabnya kenapa orang2 pintar kalau bertemu penuh dg tabrakan dan saling menghancurkan. Kearifan serupa air. Kalau orang2 arif berjumpa, mereka serupa air berjumpa air. Tdk ada tabrakan di sana, hanya pelukan2 yg penuh senyuman.......

Tiap gelombang naik diikuti gelombang turun, tiap pujian diikuti makian. Memang demikianlah hukumnya. Melawan aliran hukum ini, itulah penderitaan. Mengalir dg hukum ini, itulah kedamaian. Tersenyum indah pd tiap aliran kehidupan, itulah kebebasan

Banyak pria yg suka memberikan berlian pd istrinya. Dan tentu ini baik. Dan ada berlian yg lebih berharga dr batu yg bercahaya itu, yakni berlian pengertian. Mengerti dalam2 kalau semua jiwa mau bahagia, semua jiwa enggan menderita, kemudian memberikan kesempatan pd orang yg kita cintai utk tumbuh sesuai dg panggilan alaminya, itulah berlian terbaik yg bisa kita berikan



IKHLAS harus diperjuangkan (kisahku)



3 agustus 2014

Harus memulai cerita ini dari mana, akupun tak tahu…  ku terima telepon di hari minggu yang tenang pukul 8.47 wita, saat harusnya ku habiskan waktu dengan GP beo dan bundanya……

Suara di telepon itu mengganggu konsentrasi , emosi dan fokus pikiran. Tidak perlu menunggu lama kulepas GP dengan bundanya, memacu motor menuju benoa.  Ladang yang menghidupi kami sekeluarga, Ladang sejuta kenangan bagi kami, tak berdaya melawan panasnya kobaran api dan kencangnya tiupan angin, satu persatu penyangga atap berjatuhan, seperti mengerang kemudian meregang. Dan lebih tak berdayanya kami dengan berontaknya hati melihat barang barang yang membantu menghidupi kami tak mampu diselamatkan… letupan demi letupan seperti begembira merayakan selepas lebaran, seolah kami menyajikan pertunjukan spektakuler sehingga menghipnotis orang orang untuk menonton dan hanya beberapa yang berinisiatif ikut berlaga dalam arena, berusaha mengusir utusan dewa brahma.

Mobil pemadam milik Pelindo III Benoa, harapan pertama datang seperti serdadu tanpa peluru. Aku tak habis pikir “bagaimana bisa mobil pemadam tidak siaga dengan persediaan air di tangkinya?” atau kwalitas petugasnya yang perlu dipertanyakan……Tak mengerti apa yang terjadi, lebih tak mengerti dengan apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, terasa olehku kaki tak mampu ku angkat. Seperti terpaku membisu melihat kenyataan dan bayangan kenangan terbawa asap menuju khayangan….

Ibu…….tersentak sapaan, lamunan pun buyar. Ku kumpulkan tenaga dan memaksa bergerak, sebisa mungkin ku pasang wajah ketegaran, sambil beranjak kulempar pandangan ke sekeliling, terekam di otakku mereka yang  tersenyum sinis dengan wajah manis , mereka yang berbicara dengan air mata terseka, mereka yang sibuk hilir mudik dengan telepon seluler melekat di telinga, pewarta yang mencari berita, mereka yang menepuk pundakku,  memeluk dan mengucapkan kata kata penguat. Akan selalu ku ingat  mereka semua dengan semua yang mereka lakukan hari ini.

Sebelum akhirnya kakiku terhenti dan terasa lemas lagi melihat Ibu terkulai menutup mata dan memegang kepala di sebelah kakak yang berusaha menyeka air mata ketika ku datang……..oh Tuhan, sebulan yang lalu mereka ini setia mendampingi dalam perjuangan hidup matiku di tempat tidur melawan meningitis, apakah kesempatan yang Kau berikan kali ini dimaksudkan agar aku menyaksikan kepiluan…? Tangan dan mulutku bergetar berusaha membuka tutupan tangan ibu diwajah sayu, suara tangisnya sungguh menyayat, mulutku tetap berusaha melafalkan nama Tuhan AUM. Tanganku menuju kepala ibu bagian atas, terasa lembek seperti kepala bayi. Ku pegang selama ku bisa, tak ada kata kecuali air mata…. Berusaha ku ucap kata ikhlas dan setelah itu mulutku bicara tanpa bisa ku kontrol , meluncur kalimat syukur dan ikhlas seperti yang selama ini ku dengar dari MTGW, ku baca dari status Mario Teguh,status – status inspirasi dan motivasi lainnya, yang senantiasa selalu ku upayakan. Bahwa sanya kalau sudah kehendak tuhan tak ada yang mampu mengelak, bukankah segala yang ada adalah pemberian Nya termasuk jiwa yang masih berstana di raga? Dan entah apa lagi kalimat kalimat sejenis yang ku ucapkan hingga tanpa kusadar tangis ibu terdiam.

Setelah kurasakan beliau sedikit tenang, ku minta yang ada disekelilingnya untuk menjaga dan mengajak bicara hal hal lain selain peristiwa hari ini, dan  kembali ku kunjungi TKP. Pikiran terus bergerak menyatukan puing puing harapan, berjuta pikiran seandainya dan andaikan saja berusaha menyabotase. Entah apa yang akan ku putuskan dengan pikiran yang masih saja bernegosiasi dengan kenyataan, bagaimana recovery, bagaimana pelanggan, bagaimana sumber dana, dan bagaimana bagaimana yang lain. Sampai akhirnya beberapa petugas datang untuk melakukan olah TKP. ku tak pedulikan, aku terlalu sibuk dengan pikiranku, dan perasaanku.

Kira kira pk 11.30 wita seseorang datang memintaku ke polsek untuk dimintai keterangan, belakangan baru kutahu orang tersebut adalah reserse, bersamaan dengan ku juga ada seorang ibu yang sedang dimintai keterangan, dari jawaban ibu itu baru ku tahu bahwa sumber api berasal dari toko pojok yang ditinggal mudik penghuninya…. ….hhhmmmm, sistem hukum  yang menjemukan, sekaligus mengecewakan, jangankan ada simpati terhadap musibah yang terjadi, justru pertanyaannya seperti akan menangkap seekor kambing hitam untuk kurban, hampir 4 jam hanya untuk membuat 2 lembar laporan pemeriksaan.

Ibu sudah dibujuk pulang, bersama cucunya yang semoga bisa mengundang senyum bahkan kalau mungkin tawa neneknya. Aku duduk selonjoran di sebuah bale bale belakang TKP, yang belum di Police Line, mungkin karena kehabisan. Pikiran nerawang tak tentu, terbayang istriku yang siang tadi sempat ikut mengorek ngorek puing puing seperti mencari sesuatu, “maafkan, walaupun profesi seorang pemulung sangat mulia, tapi bukan bermaksud menjadikanmu pemulung, menanggalkan seragam kerjamu, dan melupakan anggukan beberapa rekan kerjamu di kantor” Itu sebabnya tak kuinginkan hadirmu saat ini, walau tujuanmu senantiasa mulia. Dalam upaya mewujudkan janjiku padamu agar tak tampak olehmu, mataku yang berubah merah, kata kata yang meledak dengan tangan terkepal. …………. Terasa panas mataku, mengalir melewati setengah pipi meluncur ketelinga membuatku terbangun dari tengadah sebelum bulir air itu menerobos lebih jauh.

Ku berusaha fokuskan pikiran dan perasaan ini pada kebahagiaan, keberlimpahan, rasa syukur.  Berusaha mengabaikan pikiran negative yang membuat nyaman perasaan. Seperti tarik tambang yang menarik pikiran ke sisi yang berlawanan, terasa sakit didada, seperti  tertekannya perasaan.
Dalam hati bertanya inikah perjuangan Ikhlas… tetap bersyukur dalam keadaan apapun?
Ya Tuhan….. untuk ikhlas aja harus berusaha, harus berjuang mengendalikan pikiran dan memilih perasaan yang ingin dirasakan. Tidak semudah mengatakan seperti yang orang orang ucapkan.
Aku tidak mau larut, biarlah sementara aku seperti batu, tak larut direbus, tak hangus dibakar. Ku lihat telapak tangan yang bernoda arang, bahkan sampai sandal jepit berubah hitam, menepuk dan membasuhnya dengan sisa air yang ada, ku kelilingi sekali lagi tampak olehku sanggar surya (tempat suci) yang lebih bersih dari biasanya karena terkena air, kuraba tak ada lecet atau luka bakar sedikitpun, bahkan tedung yang memayunginya tetap utuh…… apa yang sedang terjadi…? Analisa demi analisa mulai memenuhi kepala dan semua di luar nalar pemahamanku.

Pasar yang digerogoti pedangang bersepeda tanpa ijin, terlihat seperti siluman pedagang kaki lima. Entah sudah berapa lembar laporan kami tanpa jawaban apalagi tindakan dari pihak berwenang, sementara pedagang legal dengan nilai kontrak yang tinggi, dan notabene memberikan masukan pada Pelindo sebagai pemilik lahan, yang tercatat sebagai setoran pendapatan dan setelah dipotong  biaya biaya akan menjadi laba Pelindo guna mencetak prestasi dalam laporan keuangannya, masih dianak tirikan. Belum termasuk setoran siluman berkaitan kontrak, hari raya dan tahun baru. Khusus untuk hal ini pelakunya bukan instansi tapi oknum, oknum yang bergerak atas nama instansi.

Dengan alasan perut, tak dapat kami salahkan mereka yang melakukan usaha, walaupun harus membagi kue yang ada, dari pada mereka melakukan tindak kejahatan. Dan dengan alasan lapar pula apapun akan kami perjuangkan, melihat mereka yang bergantung nafkahnya pada kami yang dipercaya Tuhan menjadi saluran berkah bagi mereka. Karena pertimbangannya bukan hanya keuntungan tapi kemerataan kebagaiaan, yang tidak serta merta didapat dari keuntungan atau laba.

Tonggak yang sudah ditancapkan alm bapak dan ibu tahun 1984 ditempat ini, akan terus ada sampai kapanpun. Bahkan akan selalu mengiyang ditelinga, dongeng sebelum tidurnya bahwa sejarahnya adalah menghabiskan 1 sandal jepit per hari untuk mendorong gerobak berkeliling, dan setelah dihitung diakhir hari pendapatannya jadi berkurang karena harus beli sandal untuk esok hari. Itu sebabnya dia memilih mempertimbangkan saran seorang teman untuk menyewa tempat ditempat ini pada tahun itu. Dengan ibu sebagai penjaganya dan beliau berkesempatan bekerja sebagai buruh kapal, sehingga pendapatan jadi double, tidak beli sandal tiap hari, dan dialokasikan untuk bayar sewa. Sangat sederhana prinsip dan motivasinya.

Menjelang petang ku sudahi liarnya pikiranku dan beranjak pergi dengan satu keyakinan, harus segera mulai lagi, melupakan semua yang telah terjadi apalagi kejadian ini. Dengan beberapa daftar tindakan yang harus dilakukan, yang belum kutulis, yang masih melekat dikepala diantaranya adalah, kontak bank kami, kontak tukang dan yang terpenting ijin dari Pelindo. Semoga dilancarkan usaha recovery kami di tempat semula. Dan semua kusampaikan dalam doa yang ku lepas ke semesta.

Dari musibah yng terjdi, sebenarnya saya memiliki 2 pilihan sikap :

1. Memilih untuk merasa sial, apes, karena sudah mengalami bencana, dan melemparkan kesalahan pada yang lain, spt pemadam yang tidak siap air, pemilik sebelah kurang berhati hati, atau angin yang terlalu kencang sehingga api dengan cepat melalap apa yang dilaluinya
2. Memilih untuk merasa beruntung dan bersyukur luar
biasa, karena hanya bangunan beserta isinya yang terbakar sementara ibu,kakak,adik saya dan yang lain selamat  tak kurang suatu apapun .

Anda sudah bisa tebak, saya memilih pilihan yang ke 2.
“Keberuntungan adalah sebuah pilihan kita sendiri, bukan pemberian atau hadiah darimana atau siapapun.”



Selasa, 05 Agustus 2014

2 pilihan sikap

Dari musibah yng terjdi, sebenarnya saya memiliki 2 pilihan sikap :
1. Memilih untuk merasa sial, apes, karena sudah mengalami bencana, dan melemparkan kesalahan pada yang lain, spt pemadam yang tidak siap air, pemilik sebelah kurang berhati hati, atau angin yang terlalu kencang sehingga api dengan cepat melalap apa yang dilaluinya
2. Memilih untuk merasa beruntung dan bersyukur luarbiasa, karena hanya bangunan beserta isinya yang terbakar sementara ibu,kakak,adik saya dan yang lain selamat tak kurang suatu apapun juga.
Dan betul sekali …. seperti sebagian dari Anda sudah bisa tebak, saya memilih pilihan yang ke 2.
“Keberuntungan adalah sebuah pilihan kita sendiri, bukan pemberian atau hadiah darimana atau siapapun.”........J.H

Gobind Vashdev

Setiap bulan Agustus saya selalu teringat sebuah cerita inspiratif, kali ini saya ngin share kepada sahabat FB, selamat membaca dan berbagi _/|\_

Jika Kita Bisa Lebih Cepat

Ada seorang anak muda dengan ayahnya, yang memiliki suatu lahan pertanian.
Beberapa kali dalam setahun mereka akan memanen hasil pertanian mereka,lalu memenuhi gerobak dengan sayur-sayuran dan pergi ke kota terdekat untuk menjual hasil produksinya.
Selain nama dan asal mereka yang sama, karakter dan tingkah laku mereka benar-benar jauh berbeda.
Sang ayah percaya dalam melakukan sesuatu hendaknya dinikmati. Lain halnya dengan anaknya, ia selalu tergesa-gesa, tipe orang yang ambisius.

Suatu pagi yang cerah, mereka mengikat seekor kerbau untuk menarik gerobak yang penuh dengan sayuran itu dan memulai perjalanan jauh. Sang anak berpikir jika mereka bisa jalan lebih cepat, terus-menerus setiap hari dan malam, mereka bisa sampai ke pasar di pagi berikutnya.
Maka ia terus memecut kerbau dengan tongkat, memaksa hewan itu untuk terus berjalan.
"Tenang saja, anakku," kata sang ayah. "Kamu akan hidup lebih lama."
"Tetapi jika kita sampai ke pasar lebih dulu dari yang lainnya, kita akan bisa menjual lebih banyak," bantah anaknya.

Tidak ada jawaban. Sang ayah menurunkan topinya untuk menutupi matanya lalu tidur di gerobak. Kesal dan geram, sang anak tetap memaksa kerbau untuk berjalan lebih cepat. Sifatnya yang keras kepala tidak setuju apa yang dikatakan ayahnya.

Empat jam dan 4 mil di perjalanan, mereka singgah di sebuah rumah kecil.
Sang ayah bangun, tersenyum dan berkata, "Ini adalah rumah pamanmu. Mari kita singgah dulu dan menyalaminya."
"Tetapi kita sudah kehilangan waktu 1 jam." keluh anaknya.
"Lalu, tidak masalah kan kalau kehilangan beberapa menit lagi. Adikku dan aku tinggal berdekatan, tetapi kita jarang saling mengunjungi," jawab ayahnya pelan.

Sang anak merasa gelisah dan menggerutu ketika 2 pria tua itu tertawa dan berbincang hampir 1 jam. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya, sang ayah menggantikan tugas anaknya menuntun kerbau.
Ketika mereka tiba di jalan bercabang, sang ayah menuntun kerbau itu ke kanan.
"Arah kiri kan lebih cepat," kata anaknya.
"Aku tahu, tapi jalan ini lebih indah." sahut ayahnya.
"Apakah ayah tidak menghargai waktu?" tanya anaknya tidak sabar.
"Oh, aku menghargainya sekali! Makanya, aku ingin melihat keindahan dan menikmati setiap detiknya."

Jalan yang berliku-liku menuntun mereka melewati padang rumput yang indah, bunga-bunga liar, dan ombak di pantai - di mana semuanya itu tidak dinikmati oleh anak muda itu. Ia gelisah, sibuk sendiri dan diliputi oleh kekhawatiran. Ia bahkan tidak menyadari betapa indahnya matahari tenggelam hari itu.
Senja tiba. Surya tenggelam menyinari padang gurun sehingga tampak lebih merah. Sang ayah menghirup aroma senja, mendengarkan bunyi air sungai mengalir, dan menarik kerbau ke tempat persinggahan. "Mari kita tidur disini," ajaknya.

"Ini adalah perjalananku terakhir yang kulakukan bersamamu," kata anaknya sambil marah. "Kau lebih tertarik untuk melihat matahari tenggelam dan menghirup wangi bunga daripada mencari uang!"

Ayahnya tersenyum. Beberapa menit kemudian, ia tertidur, sementara itu sang anak memandang langit yang penuh dengan bintang. Malam itu berlalu sangat pelan, dan ia tetap merasa gelisah.
Sebelum matahari terbit, anak muda itu dengan segera membangunkan ayahnya.
Mereka lekas naik gerobak dan melanjutkan perjalanannya. Sekitar 1 mil,mereka melihat seorang petani yg tidak mereka kenal berusaha untuk menarik gerobaknya dari selokan.

"Mari kita bantu dia." bisik ayahnya.
"Dan kehilangan beberapa waktu lagi?" bentak anaknya.
"Tenang, anakku... kau mungkin bisa mengalami hal ini sendiri. Kita butuh bantuan orang lain ketika kita memerlukannya, jangan lupakan hal itu."
Dengan pandangan marah, anak itu menuruti perkataan ayahnya.
Hari itu sudah hampir jam 8 ketika gerobak petani itu berhasil ditarik keluar dari selokan.
Tiba-tiba, sebuah percikan cahaya membelah langit.
Kemudian diikuti oleh bunyi geledek. Di belakang bukit-bukit, langit tampak hitam.
"Sepertinya akan turun hujan besar di kota," kata ayahnya.
"Jika kita bisa lebih cepat, dagangan kita mungkin sudah habis sekarang ini." gerutu anaknya.
"Tenanglah... kamu akan hidup lama. Dan kamu akan menikmati hidup lebih lama," nasihat ayahnya itu.

Hari itu sudah siang ketika mereka tiba di bukit untuk melihat kota tujuan mereka. Mereka berhenti dan melihat ke bawah cukup lama.
Tidak ada di antara mereka yang bicara. Akhirnya, anak muda itu menepuk pundak ayahnya dan berkata, "Aku mengerti apa yg kau maksud, ayah."

Mereka membalikkan gerobak dan mulai meninggalkan kota itu, kota yang dulu disebut Hiroshima.
(Billy Rose)

Dear Friend,
Semakin kini dunia,semakin kita dituntut untuk melakukan segala sesuatu lebih cepat, lebih keras dan lebih besar dari sebelumnya… dengan tekanan efisiensi dan efektivitas sebagai alasan utama dan desakan kebutuhan materi , manusia seringkali diperlakukan atau memperlakukan dirinya sebagai robot.
Kita sering belajar menjadi lebih cepat dan terburu-buru tapi jarang sekali belajar untuk menunggu,.. belajar membuat yg lebih besar dan bukan lebih baik…
Disinilah kita hidup dimana pencapaian materi sering mengorbankan segalanya termasuk prinsip2 yg kita pegang teguh sebelumnya.
Mungkin indahnya bintang, deburan ombak juga sejuknya udara pegunungan serta merdunya kicauan burung adalah sesuatu hal yang biasa pada saat ini, tapi seiring dengan waktu yg berpacu dengan usia, dimana penglihatan dan pendengaran serta kondisi tubuh yang mulai melemah ,maka bisa jadi semua hal diatas akan berubah menjadi barang antik nan langka

legenda seorang bangsawan Jerman

Ada sebuah legenda tentang seorang bangsawan Jerman yang mempunyai istana di perbukitan di tepi Sungai Rhein.
Sebagai seorang pecinta musik, ia memasang beberapa kawat diantara 2 menara di kastilnya dengan harapan kalau-kalau angin akan menggetarkan kawat-kawat itu sehingga menghasilkan musik. Tetapi aliran angin sungai Rhein tidak menghasilkan suara sedikitpun.
Pada suatu malam, terjadilah badai hebat di lembah itu. Badai yang dahsyat menerpa istana bangsawan tersebut. Bahkan gunung-gunung sekitar pun tampak terguncang. Sang bangsawan membuka tirai jendela untuk mengawasi perkembangan badai, dan dalam keheranannnya, ia mendengarkan alunan musik yang merdu. Sekarang kawat-kawat itu mendesing bagaikan petikan senar gitar. Ternyata kawat-kawat itu memerlukan badai untuk menghasilkan melodi yang merdu dan indah!
Demikian pula dlm kehidupan ini.. Terkadang kita membutuhkan badai utk dapat mengekspresikan indahnya kehidupan..
Badai yang datang dalam hidup kita dapat membuat musik yang merdu dan indah keluar dari diri kita, asalkan kita mampu meresponinya dgn benar.
Badai membuat kita semakin kuat, dewasa, semakin bijak dalam menyikapi stiap permasalahan..
Mari kita keluarkan alunan musik yang indah dalam hidup kita...


KARUNIA SELALU DATANG, SEPERTI AUR DARI LANGIT DISAAT HUJAN DERAS, yang diperlukan bukan usaha untuk meraihnya, namun menyiapkan wadah agar berkah itu layak menempati ruang hati ini - Awareness Insight

Like this