Bahagia, menurut orang pada
umumnya, adalah saat kita mendapatkan atau bertemu dengan yang kita
inginkan atau harapkan. Ketidakbahag
iaan adalah sebaliknya, kita bertemu dengan sesuatu yang tidak kita inginkan atau harapkan.
Misalnya kita ingin ke mal dan sudah membayangkan apa yang akan kita
lakukan di sana. Pikiran kita sudah berada di mal padahal kita masih di
rumah. Saat kita sampai di mal dan mendapatkan apa yang kita harapkan
maka kita akan merasa senang atau bahagia.
Sebaliknya, misalnya,
pas mau ke mal .... eh... kena macet atau mobil kita mogok. Apa yang
terjadi? Kita merasakan ketidakbahagiaan. Kita marah, jengkel, dan
kecewa berat. Kok ya ada saja kejadian yang membuat kita ”gagal” ke mal
sehingga kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan atau harapkan.
Sahabat FB pernahkah anda mengalami hal seperti ini?
Sebenarnya tidak ada satupun kejadian yang bersifat baik atau buruk.
Semua kejadian bersifat netral. Kita yang memberikan makna pada kejadian
itu. Mobil mogok atau jalanan macet bersifat netral. Tidak ada yang
negatif.
Anda bisa bersikeras berkata, ”Ya, tapi kejadian ini kan menghambat saya untuk mencapai apa yang saya inginkan”.
Apakah benar seperti itu? Misalnya kalau mobil mogok, apakah tidak ada
alternatif lain? Kalau jalanan macet? Apakah keinginan ke mal tidak bisa
ditunda dulu?
Pembaca, apa sih sebenarnya yang mengarahkan
pikiran kita sehingga kita bisa salah memberikan makna pada setiap
kejadian yang kita alami?
Ada tiga hal yang mempengaruhi pikiran
kita setiap saat dalam melakukan evaluasi yaitu kebodohan atau
ketidaktahuan, keserakahan, dan kebencian.
Yang dimaksud dengan
kebodohan atau ketidaktahuan bukan ”bodoh” secara akademik, mendapatkan
nilai jelek, tidak bisa mengerjakan soal ujian, atau tidak bisa menjawab
pertanyaan yang sulit.
Kebodohan di sini maksudnya adalah kita
tidak tahu, tidak mengerti, atau tidak mau tahu mengenai (nilai)
kebenaran. Ketidaktahuan ini mengakibatkan kita bertindak tanpa
menyadari bahwa tindakan kita tidak sejalan dengan nilai spiritual.
Kalau pada kasus di atas, kebodohan kita adalah kita tidak tahu bahwa
kitalah yang seharusnya mengendalikan reaksi kita. Bukan sebaliknya,
diri kita dikendalikan oleh lingkungan kita. Kebodohan ini yang membuat
hidup seseorang susah, menderita, berada di bawah ”garis” hidup yang
layak, ketidakbahagiaan, dan masih banyak akibat negatif lain.
Sayangnya, sekolah formal tidak pernah mengajarkan mengenai hal ini.
Kita belajar dengan susah payah, dengan membayar ”harga” yang sangat
mahal, di sekolah kehidupan.
Yang dimaksud dengan keserakahan
adalah keinginan kita untuk bisa selalu mendapatkan apa yang kita
inginkan. Keserakahan juga berarti kita ingin mendapatkan lebih lagi,
lebih lagi, dan lebih lagi. Keserakahan sifatnya sangat halus. Sering
kali pikiran kita telah dicengkeram oleh keserakahan namun kita tidak
tahu atau tidak sadar. Yang tampak atau yang kita alami adalah emosi
lain yang muncul setelah keserakahan bekerja. Nah, yang sering kita
otak-atik adalah emosi lanjutan. Bukan akar masalahnya yaitu
keserakahan.
Contoh lain keserakahan adalah rasa iri atau
dengki. Kita tidak suka, tidak senang, merasa susah bila melihat
keberhasilan orang lain, apalagi melebihi keberhasilan kita. Saking
halusnya keserakahan menguasai diri kita seringkali tidak kita sadari
dan kita bisa membuat seribu alasan untuk menyalahkan orang lain.
Keserakahan ini nanti selanjutnya akan mengaktifkan kebencian.
Contohnya? Misalnya kita pernah membantu seseorang. Saat kita
membutuhkan bantuan dan kita berharap orang yang dulunya pernah kita
tolong mau membantu kita dan ternyata orang ini tidak mau membantu kita,
bagaimana reaksi kita? Yang muncul pasti emosi marah, sakit hati,
tersinggung, kecewa, jengkel, dan yang sejenisnya.
Coba kita
analisa agak dalam. Apakah orang yang pernah kita tolong harus membalas
kebaikan kita? Jawabnya tidak. Tidak ada yang mengharuskan ia membalas
budi kebaikan kita. Menolong adalah proses satu arah bukan timbal balik.
Kalau timbal balik ini namanya bukan menolong tapi berdagang. Ada
prinsip untung dan rugi.
Mengapa kita marah, kecewa, sakit hati,
dan jengkel saat orang itu tidak mau membantu kita? Karena sebenarnya
diri kita, lebih tepatnya, pikiran kita telah dicengkeram atau dikuasai
oleh keserakahan. Kita ingin orang itu melakukan apa yang kita minta.
Kita berharap orang itu membalas kebaikan kita. Saat apa yang kita
harapkan tidak kita temukan atau dapatkan, apa yang terjadi?
Ketidakbahagiaan atau ketidaksenangan.
Para master dan guru
spiritual telah mengajarkan hal ini sejak ribuan tahun lalu. Mereka
selalu berpesan agar kita membantu orang lain dengan tulus. Yang
dimaksud tulus adalah kita membantu hanya sekedar membantu, tidak
berharap imbalan atau balasan. Setelah kita melakukan suatu kebaikan
maka kita harus segera melupakan perbuatan baik yang telah kita lakukan.
Mengapa kita harus melupakan kebaikan kita? Ya itu tadi. Kalau
kita terus mengingat-ingat maka yang muncul adalah mental pedagang. Kita
berharap mendapat imbalan. Bahkan mengingat bahwa perbuatan baik kita
akan mendapat imbalan dari Tuhan, atau ada yang menyebutnya dengan
Semesta Alam, juga tidak baik. Justru dengan selalu mengingat ”imbal
jasa” ini membuat nafsu keinginan dalam bentuk keserakahan akan semakin
kuat.
Jika dihubungkan dengan level energi, seperti yang saya
jelaskan pada artikel Energi Psikis Sebagai Akselerator Keberhasilan,
maka keserakahan ini berada pada level energi Desire (125), di bawah
level Courage (200). Segala sesuatu yang berada di bawah level 200 akan
menguras (drain) energi psikis kita.
Selanjutnya keserakahan ini
akan mengaktifkan emosi negatif lainnya seperti kebencian. Kebencian
sebenarnya adalah bentuk lain dari kemarahan. Benci berarti kita marah
pada sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginan kita. Dan kemarahan
berada di level energi 150.
Bagaimana dengan orang yang selalu
ingin dihargai dan dihormati? Orang ini masuk kategori ”sakit”.
Kebodohan mereka adalah bahwa sebenarnya mereka tidak membutuhkan hormat
dari orang lain. Saat seseorang sudah menghormati dirinya sendiri maka
secara otomatis orang lain akan hormat pada dirinya. Ini sesuai dengan
Hukum Kesetaraan yang berbunyi apa yang terjadi di dalam (diri) akan
terwujud dalam realita fisik (di luar diri).
Orang ini akan
selalu berusaha untuk mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang
sudah tentu semakin memperkuat keserakahannya. Keserakahan yang semakin
kuat selanjutnya akan membuatnya semakin mudah terpancing untuk marah,
tersinggung, jengkel, dendam, dan sakit hati.
Saya mengenal
orang tipe seperti ini. Seorang pengusaha sukses yang selalu ingin
diakui, dihargai, dan dihormati oleh orang di sekitarnya. Akibatnya?
Kawan-kawan baiknya akhirnya menghindari dirinya. Pengusaha ini,
walaupun sudah sangat sukses secara finansial, ternyata masih sangat
serakah dalam hal rasa hormat, pujian, dan penghargaan.
Anda
pasti akan bertanya, ”Lha, lalu apa bedanya antara keserakahan dan
ambisi?. Bukankah kita harus punya ambisi untuk bisa meraih sukses?”
Anda benar sekali. Kita harus punya ambisi. Ambisi artinya suatu
perasaan yang kuat untuk berhasil. Ambisi adalah sesuatu yang positif.
Ambisi menjadi negatif apabila telah berubah menjadi keserakahan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena kita telah dikendalikan oleh ambisi
kita.
Bagaimana caranya untuk mengetahui apakah kita yang
mengendalikan ambisi atau kita telah dikendalikan ambisi kita? Caranya
mudah. Lihat apa yang terjadi bila keinginan kita tidak tercapai.
Bagaimana reaksi kita? Banyak orang yang begitu kecewa, karena
keinginannya tidak tercapai, akhirnya menjadi marah, putus asa, dan
lebih parah lagi depresi. Ini satu contoh bahwa ambisi telah berubah
menjadi keserakahan.
Keserakahan ini adalah bentuk lain dari
kemiskinan mental yang harus kita berantas. Bagaimana caranya? Mulailah
dengan mengikis atau mengurangi kebodohan kita. Kita perlu belajar
prinsip hidup yang benar. Jalan pintasnya adalah dengan meningkatkan
level kecerdasan spiritual kita.
Langkah selanjutnya adalah
dengan mengembangkan kemampuan pengamatan yang tajam terhadap berbagai
bentuk pikiran yang muncul di pikiran kita. Kesulitannya, kalau harus
mengamati berbagai bentuk pikiran, adalah bahwa dalam sehari bisa muncul
sangat banyak bentuk pikiran.
Apa ada cara lain yang lebih
mudah? Oh, tentu ada. Bagaimana caranya? Amati perasaan anda. Pikiran
mempengaruhi perasaan. Perasaan lebih mudah diamati daripada pikiran.
Perasaan negatif muncul sebagai akibat dari pikiran negatif. Perasaan
positif muncul dari pikiran positif.
Saat muncul perasaan
negatif kita perlu bertanya pada diri kita, ”Ooop...apa ada nilai
spiritual yang saya langgar atau abaikan? Apakah ada sesuatu yang masih
belum saya mengerti sehingga kebodohan membuat saya seperti ini?